Cobra
Melihat film Cobra untuk yang pertama kalinya adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Saat itu di pertengahan tahun 1985 di ruang keluarga tetangga depan rumah, satu-satunya keluarga yang punya video player di lingkungan rumahku. Aku sering main ke sana, dan kalau kebetulan videonya diputar aku pun ikut menonton. Kali ini yang empunya player memutar Cobra, film terbaru yang dibintangi Sylvester Stallone. Dan tidak sampai lima menit, aku lari terbirit-birit pulang ke rumah.
Lima menit pertama dari film itu penuh dengan adegan kekerasan. Seseorang dengan senjata api di tangan menembak membabi buta di sebuah swalayan. Darah berhamburan, korban berjatuhan, dan aku yang belum genap berusia delapan tidak tahan untuk terus menyaksikan. Seakan-akan penembak itu berada di depan dan berikutnya aku yang menjadi korban.
Dua puluh tahun berselang, Cobra diputar ulang di salah satu stasiun TV. Aku menyempatkan diri untuk menontonnya, bernostalgia kembali akan lima menit menakutkan itu. Dan ketika lima menit itu terlewati, aku terheran-heran sendiri. Ternyata biasa-biasa saja. Trauma yang aku takutkan tidak terjadi, padahal jempolku sudah siaga di tombol off remote TV. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku sudah menjadi begitu terbiasa dengan tayangan kekerasan? Atau memang keseharian kita, bukan hanya tayangan media? Apakah karena sudah terbiasa, aku akan kehilangan empati terhadap sesama?
Apapun, satu hal sudah jelas, dampak kekerasan yang ditayangkan media memang membawa pengaruh negatif bagi anak-anak, seperti yang aku alami dulu. Dan kini aku pun melindungi anak-anakku dari dampak negatif itu, sensor ketat di semua tayangan media. Hanya saja aku tidak bisa mengontrol tontonan Rania yang sering main ke tetangga depan rumah. Persis seperti aku dulu.